Postingan saya
kali ini terinspirasi dari sebuah website berita terkemuka VoA Indonesia pada
tanggal 16 April yang lalu. Khususnya salah satu artikelnya yang berjudul “Mekanisme Pengawasan Distribusi Soal Ujian Nasional Dinilai Berlebihan”.
Dalam berita tersebut seorang Anggota Komisi X DPR RI Nasruddin menyatakan
bahwa dengan adanya polisi dan tentara yang ikut sampai ke ruang kelas
dinilainya terlalu berlebihan.
Source: http://www.voaindonesia.com |
“(Ini) akan mempengaruhi secara psikologis terhadap anak-anak yang mau ujian, seolah-olah ada apa ini, kok ujian begitu semacam ada kebocoran, padahal sesungguhnya tidak demikian. Ini kelihatanya terlalu over, sehingga saya khawatir”.
Setujukah anda
dengan pendapat di atas?
Memang tidak
bisa di pungkiri dengan adanya pengawasan yang ketat tersebut mempengaruhi
psikologis siswa. Namun jika hal tersebut sudah di katakan sebelumnya kepada
siswa, dan siswa sudah mempersiapkan dengan matang maka seketat apapun
pengawasan yang dilakukan pasti tak akan banyak berpengaruh. Selain itu dengan
adanya pengawasan yang ketat tersebut maka akan meminimalisir terjadinya segala
bentuk kecurangan. Menurut saya yang terpenting adalah membangun kepercayaan
diri siswa akan kemampuan yang dimilikinya, sehingga hasil yang diperoleh pun
memang merupakan hasil pemikirannya sendiri.
Sebagai
seorang calon tenaga pendidik, saya sediri setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Denpasar Drs. I Nyoman Purnajaya dalam berita VoA Indonesia tersebut:
“Mungkin saja itu terjadi secara keseluruhan pada siswa, tetapi saya belum mendapat laporan, mungkin seperti tadi saya katakan hal-hal kecil seperti itu tidak sampai di laporkan ke kepala sekolah, mungkin dengan guru dan pada orang tua mereka, kami berusaha membangun rasa percaya diri anak-anak kami”.
Meskipun
faktanya belum ada laporan yang masuk ke kepala sekolah mengenai laporan ini,
namun saya yakin tekanan psikologis itu pasti ada. Setidaknya hal itulah yang telah
saya alami beberapa tahun yang lalu. Namun tekanan psikologis itu tidak akan
ada artinya jika rasa percaya diri kita telah terbangun dengan kokoh dan kita
sudah mempersiapkannya dengan matang.
Berita inilah
yang kemudian membuka kembali ingatan saya akan kejadian yang sama 4 tahun
lalu, tepatnya pada tahun 2008. Saat itu saya juga menempuh Ujian Nasional
dengan ketentuan-ketentuan pemerintah yang baru. Simaklah cerita singkat saya mengenai ujian
nasional saya berikut ini:
Saat itu saya harus terbentur dengan aturan-aturan pemerintah yang baru untuk pelaksanaan UAN tahun itu. Dari semula hanya 3 mata pelajaran ( Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika) yang di Ujian Nasionalkan pada tahun 2007, menjadi 6 mapel pada tahun 2008. Tiga tambahan bidang studi tersebut adalah bidang studi pokok dari jurusan yang di ambil. Karena saya mengambil jurusan IPA, maka mapel tambahan yang harus saya hadapi dalam Ujian Nasional saat itu adalah Fisika, Kimia dan Biologi. Semua itu akan menjadi musuh yang harus a takhlukkan untuk mencapai titik puncak tiga tahun studiku di SMA. Semua itu terasa kian berat setelah standar ketuntasan yang semula 4,25 menjadi 5,25 di tahun 2008.
Source: http://id.wikipedia.org |
Tidak mudah memang untuk menghadapi itu
semua. Semua orang pasti mengharapkan saya bisa lulus dalam Ujian Akhir
tersebut. Ayah, Ibu, kakak, keluarga yang lain serta guru-guru di sekolahku
semua pasti mengharapkan yang terbaik. Sehingga keinginan dan harapan yang
begitu besar disematkan dipundakku, sehingga hal itu semakin memberatkan
langkahku, lebih tepatnya kami semua siswa SMA dalam menghadapi pertempuran
tersebut.
Jauh sebelum minggu menentukan itu tiba,
kami semua terus di gembleng dengan latihan, latihan dan latihan. Semua itu
dilakukan dengan tujuan agar kami semua dapat terbiasa dengan kondisi saat UAN
yang sebenarnya nanti. Belum lagi ada les tambahan dari sekolah serta bimbingan
belajar membuat hari-hariku selalu dipenuhi dengan banyaknya angka-angka, rumus
fisika, serentetan gramar Bahasa Inggris yang membingungkan, teks-teks bacaan
yang panjang dan sebagainya. Kadang rasa bosan, jenuh menyelimuti pikiranku,
namun itu semua terkalahkan dengan rasa khawatirku akan hari penghakiman itu
memaksaku untuk terus melakukan aktivitas tersebut. Sehingga saat itu saya
berada di bawah tekanan atau bahasa inggrisnya under pressure kalau gak salah.
Sempat beredar kabar juga tentang adanya
joki-joki yang siap mentransfer kunci jawaban melalui sms. Namun apa saya bisa
melakukannya? Saat itu saya belum mempunyai handphone, atau pinjam punya
saudara? Ah saya belum terbiasa pakai hp pasti akan grogi saat melihat nanti.
Maka tamatlah riwayatku, jika sampai terpergok nanti. Belum lagi asal muasal
dari si joki tadi, apakah bisa dipercaya tau tidak. Sehingga muncullah
pertanyaan yang selalu mengisi pikiranku, “Apakah saya besok akan bisa berkutik
(menyontek) saat ujian? Informasi seputar ujian nasional pun terus kami
dapatkan, seperti tim pengawas ujian yang akan disilang dari SMA lain, ditambah
lagi adanya tim Independent yang berasal dari dosen maupun mahasiswa pada saat
itu.
Guru-guru di sekolah saya pun satu persatu
berpesan, bahwa mereka tidak akan bisa berbuat banyak pada saat ujian nanti.
Mereka menyampaikan bahwa naskah soal ujian nasional baru akan sampai di
sekolah saya tersebut pada malam sebelum hari pertama ujian akhir nasional
dimulai. Menanggapi isu yang beredar, mereka menghimbau untuk tidak mudah
percaya dengan orang yang menjanjikan kunci jawaban itu. Selain belum tentu
kebenarannya joki-joki itu juga meminta imbalan sejumlah uang yang fantastis
menurut saya. Mereka selalu berdo’a yang terbaik bagi kami.
Sistem pengawasan yang ketat itulah yang
akhirnya membuang pikiran-pikiran negatif saya. Saya tak mau masa depanku
hancur hanya karna ulah kotorku yang sempat terfikirkan sebelumnya. Saya
menjadi sadar bahwa saya tidak dapat mengandalkan orang lain, saya harus
percaya dengan kemampuan yang saya miliki. Rasa percaya itu kian tumbuh dan
membesar lagi setelah sekolah mengadakan semacam pelatihan IESQ. Saat itulah
untuk pertama kalinya saya mendapatkan pelatihan itu. Kegiatan yang sangat berkesan,
yang membuat saya dan sebagian besar siswa meneteskan air mata. Namun hal itu
mampu membakar dan memompa semangatku untuk siap sedia bertarung menghadadapi
ujian tersebut.
Menyadarkanku bahwa, harapan mereka bukanlah
sebuah harapan tanpa dasar, setelah semua yang telah mereka lakukan pada saya.
Orang tuaku yang tlah membesarkanku, yang selalu mendoakanku tiap waktu,
mencarikan nafkah untukku tak peduli siang dan malam tanpa memperdulikan
kondisi mereka sendiri, dan kakakku yang selalu siap sedia untuk membimbingku,
serta apa yang telah guruku ajarkan kepadaku selama tiga tahun di sekolah.
Semua itu tak akan ada artinya jika saya tidak dapat menyelesaikan babak final
saat itu.
Singkat cerita akhirnya saya dapat
memenangkan pertarungan itu, saya LULUS! Keberhasilan tersebut diikuti dengan
teman-teman yang lain. Saat itu sekolahku dapat lulus 100%, kekhawatiran
yang dulu kualami akhirnya berubah jadi kebahagiaan melihat hasil yang telah
diperoleh.
----:.:.:-----
Nah dari sudut
pandang itulah maka saya menilai tidak ada yang berlebihan dari semua tindakan pengawasan di Bali tersebut. Semua itu dilakukan semata-mata untuk meminimalisir
kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. Kejadian itu justru mungkin
dilakukan karena dinas pendidikan maupun sekolah tersebut sudah tau jika akan
dilakukan peninjauan oleh pejabat negara, sehingga pengamanannya diperketat
sampai sedemikian rupa. Padahal seperti diketahui bahwa di daerah-daerah lain,
mekanisme pengawasan distribusi ujian nasional justru terlihat longgar,
sehingga banyak terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Akhir
Nasional tersebut.
Mari kita
buktikan! Lihatlah sebuah status facebook dari akun teman saya pada tanggal 14
April 2012, di bawah ini.
Source: Dokumen Penulis |
Untuk
identitas dari akun facebook maupun tempatnya sengaja saya kaburkan untuk
melindungi privasinya. Nah ketika ditanya lebih lanjut mengenai kejadian
tersebut, ternyata itu semua sudah menjadi rahasia umum. Hal itu dilakukan
karena pada saat ujiannya nanti akan banyak wartawan maupun LSM yang mengawasi.
Dari situ terlihatlah bagaimana morat-maritnya pendidikan di negeri ini. Bahkan
suatu kecurangan sudah dianggap hal yang biasa. Jika generasi penerusnya saja
sudah di ajari untuk berbuat curang oleh gurunya sendiri, maka apa jadinya
negeri ini sepuluh tahun mendatang??
Mutu
pendidikan sebenarnya bukan hanya diukur dari hasil UAN semata. Namun kenyataan
banyak sekolah yang mempunyai pandangan yang sempit, yang menganggap hasil
kelulusan UAN adalah segalanya. Jika hasil kelulusan UAN sempurna maka hal itu
akan mengangkat pamor sekolah tersebut. Inilah pola pikir yang salah, yang harus
segera kita benahi. Memang untuk mengukur mutu pendidikan salah satu hal yang
dapat dijadikan indikatornya adalah dari tingkat kelulusan serta standar
ketuntasan yang telah ditentukan. Namun jika hal itu digunakan maka sudah
sepantasnya selain mekanisme pengawasan saat ujian, mekanisme pengawasan
distribusi soal ujian merupakan hal yang sangat penting.
Atas dasar pengalaman dan fakta itulah maka menurut pendapat saya mekanisme pengawasan distribusi soal ujian tidak ada yang salah. Jika memang
benar pengawasan distribusi soal ujian di Bali seperti itu di semua sekolah, maka
memang seperti itulah seharusnya dan dapat dicontoh oleh sekolah-sekolah lain
di Indonesia. Semoga memang pemerintah melakukan evaluasi lagi terhadap
mekanisme pengawasan distribusi soal UN. Sehingga kejadian seperti yang terjadi
di daerah yang saya maksudkan di atas, tidak akan terulang lagi. Semoga dunia
pendidikan Indonesia dapat mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas, berkarakter,
serta jujur.
Bagaimana pendapat anda? Silahkan tinggalkan komentar di bawah ini.
Semoga pendidikan di Indonesia semakin baik lagi. Semoga sukses ya. Mohon beri komentar pada tulisanku yang ini - Memanusiawikan Lingkungan Sungai Ciliwung dan Sekitarnya dan yang ini - Indonesia mendunia lewat Gamelan
ReplyDeleteAmiin.,
ReplyDeleteThanks dah mampir gan..
Siap ke TKP.. :)